Sorotan: Dari Pengalaman Pribadi Hingga Merintis Advokasi GEDSI
Ibu Pipit Ratna Fitriani1, Pemimpin GEDSI SKALA dan pemenang Penghargaan Woman of the YearDT Global Ibu Pipit Ratna Fitriani , Pemimpin GEDSI SKALA dan pemenang Penghargaan Woman of the Year DT Global merefleksikan pembangunan dan Kesetaraan Gender, Disabilitas dan Inklusi Sosial di Indonesia.
Menjadi Woman of the Year versi DT Global
Mata Pipit berbinar saat bicara tentang penghargaan yang dia raih. Dia sedang berada di Kalimantan Utara untuk urusan pekerjaan ketika diberitahu tentang pencalonannya.
“Saya sibuk sekali waktu itu. Reaksi awal saya hanya ‘Oke, terima kasih.’ Saya hanya memikirkannya sambil lalu.”
Dia menegaskan penghargaan ini adalah pengakuan atas upaya kolektif dari para pemangku kepentingan SKALA, termasuk tim, pimpinan senior, pemerintah Indonesia, pemerintah Australia, dan para mitra SKALA. Lebih lanjut, Pipit menyatakan proyek tata kelola di Indonesia terus berkembang, dengan desain dan pendekatan SKALA yang fokus pada pelibatan kelompok rentan dalam pembangunan. SKALA memiliki tiga hasil akhir program, dengan upaya dan kisah yang berkisar pada kelompok paling rentan.
Bagi Pipit, penghargaan Woman of the Year DT Global merupakan sebuah pengakuan atas pendekatan ini.
Meski penghargaan tak pernah jadi tujuannya, namun Pipit mengaku bahwa ini adalah cara terbaik untuk memberikan pengakuan dan mengapresiasi staf.
“Penghargaan ini membuat saya lebih percaya diri, sekaligus membuat saya mampu melihat kekuatan dalam diri saya, dan bagaimana saya dapat berkontribusi pada tim,” jelasnya.
Bagi Pipit, penghargaan Woman of the Year DT Global lebih dari sekadar pengakuan pribadi. Ini adalah bukti upaya kolektif tim dan mitra SKALA dan menjadi motivasi untuk terus berupaya mencapai pembangunan berdampak dan inklusif.
Antusiasme terhadap GEDSI
Komitmen Pipit terhadap Kesetaraan Gender, Disabilitas, dan Inklusi Sosial (GEDSI) lahir dari pengalaman hidupnya. Sepanjang kariernya, dia terus berupaya menyelaraskan GEDSI dengan berbagai isu sosial paling mendasar di Indonesia. Pipit berasal dari sebuah keluarga besar, yang beranggotakan sembilan orang. Sebagai pegawai negeri, orang tuanya harus berkutat dengan keuangan pas-pasan. Latar belakang ini menanamkan pemahaman mendalam pada dirinya tentang perjuangan yang dihadapi banyak masyarakat Indonesia, sekaligus mendorongnya untuk mengabdikan karier dan hidup demi meningkatkan kesejahteraan kelompok rentan.
“Perjuangan orang tua saya memastikan ketujuh anaknya mengenyam pendidikan hingga level universitas sangat menginspirasi. Pengalaman kami menunjukkan peran penting pendidikan dalam mengubah kehidupan,” kenang Pipit.
Kesadaran ini pula yang membawanya menekuni praktik pembangunan dengan fokus pengembangan masyarakat untuk gelar masternya. Pipit ingin memperdalam dampak kontribusinya terhadap keadilan sosial.
Di awal kariernya di Komnas Perempuan2 , dia menyadari pentingnya melibatkan masyarakat secara terbuka dan transparan. Pipit menilai, masyarakat membutuhkan transparansi dan akuntabilitas dari negara. Di Komnas Perempuan, Pipit tidak berinteraksi intensif dengan donor internasional. Bahkan, awalnya dia ragu bekerja sama dengan mitra pembangunan internasional karena pendekatan operasional mereka berbeda.
Sudut pandangnya berubah ketika bergabung dengan program pendidikan yang didukung DFAT sebagai penasihat GEDSI. Apalagi, setelah ia menyerap pemahaman luas mengenai isu-isu keadilan sosial di Indonesia melalui kerjanya di Solidaritas Perempuan3 dan sebagai direktur program di Indonesia untuk Kemanusiaan4. Pipit juga mengelola PNPM Peduli5 yang berfokus pada kelompok paling rentan termasuk masyarakat miskin perkotaan, transgender, masyarakat adat, dan korban pelanggaran HAM berat. Pengalamannya mengelola PNPM Peduli selama lima tahun membuat Pipit kian yakin akan pentingnya perubahan sistemik.
“Saya menyadari jika kita benar-benar ingin mendorong perubahan dalam sistem pemerintahan, maka kita perlu bekerja melalui sistem tersebut,” katanya.
Sejak itu, antusiasme Pipit terhadap inklusi sosial kian membuncah, apalagi dengan perannya di KOMPAK6 dan yang terbaru di SKALA. Pekerjaannya tidak hanya memberi pemahaman lebih mendalam mengenai isu-isu inklusi, tetapi juga memungkinkan Pipit untuk memberikan masukan terhadap kebijakan dan terlibat dalam advokasi penting.
Dedikasinya juga terlihat dalam kerja sukarela yang ia tekuni. Ia aktif di jejaring dan inisiatif sosial seperti Ke:kini Ruang Bersama, yang bertujuan memberikan ruang dan dukungan bagi komunitas marginal di Indonesia dan mendorong transformasi sosial. Ia juga menjadi relawan di Perkumpulan Penyandang Disabilitas Indonesia(PPDI)7 yang berkontribusi terhadap pengembangan kesadaran tentang disabilitas, isu-isu perempuan, dan kepedulian sosial yang lebih luas.
“Jika orang hanya memahami saya melalui pekerjaan profesional, mereka sebenarnya belum mengenal saya sepenuhnya. Saya melakukan banyak hal sebagai relawan untuk memastikan saya berkontribusi tidak hanya pada isu disabilitas tetapi juga isu perempuan dan isu sosial lainnya di Indonesia,” dia menjelaskan.
Kisah Pipit adalah bukti kuat bagaimana pengalaman pribadi dapat menginspirasi komitmen seumur hidup terhadap advokasi dan perubahan, yang memengaruhi lingkup nasional dan internasional. Perjalanannya menyoroti berbagai tantangan dan pencapaian dalam memajukan GEDSI serta menggarisbawahi kebutuhan berkelanjutan akan advokasi khusus dan tindakan strategis dalam upaya inklusi.
Dampak GEDSI di dan melalui SKALA
Pipit sangat bangga dengan betapa kuatnya integrasi GEDSI ke dalam struktur program SKALA. Pengalaman luasnya di KOMPAK, tempat ia bekerja selama lebih dari enam tahun, menjadi dasar kerjanya di SKALA. KOMPAK memberinya landasan kuat mengelola program tata kelola yang kompleks.
Dia mengakui bahwa penetapan GEDSI sebagai pilar program inti di SKALA merupakan langkah strategis yang membantu timnya memastikan GEDSI bukan sekadar tambahan, melainkan elemen sentral di semua bidang program. Di SKALA, ia memanfaatkan pembelajaran dari KOMPAK untuk meningkatkan cara penanganan GEDSI dalam strategi implementasi program.
Pipit mencatat, “Jika kita benar-benar ingin menjadikan proyek ini kuat, menerapkan GEDSI di semua lini, kita memerlukan satu pilar untuk itu.”
Penerapan pendekatan ini bukan semata-mata demi memenuhi persyaratan legal belaka, tetapi juga demi menciptakan lingkungan inklusif. Pipit membantu menguraikan komitmen ini dalam strategi GEDSI SKALA, dengan menunjukkan rencana jelas operasionalisasi nilai inklusi SKALA, termasuk langkah praktis seperti menetapkan kuota perekrutan bagi penyandang disabilitas, memilih lokasi kantor inklusif, memilih vendor yang sesuai, dan menyiapkan lingkungan kantor dengan pertimbangan GEDSI di garis depan. Semua ini membantu untuk memastikan prinsip-prinsip tersebut tertanam dalam operasi dan proses pengambilan keputusan SKALA sehari-hari.
“Ini bukan sekedar tokenistik, lho. Kami ingin merekrut penyandang disabilitas, jadi kami benar-benar perlu memikirkan bagaimana agar lingkungan kerja inklusif.”
Pipit memuji SKALA yang menyediakan fasilitas seperti ruang multifungsi pendukung inklusivitas untuk berbagai kebutuhan, termasuk ruang menyusui dan ruang bagi penyandang disabilitas untuk beristirahat sesuai kebutuhan. Dia menegaskan, fasilitas seperti itu bermanfaat bagi semua orang.
Selain itu, tim SKALA berkomitmen memasukkan koordinator GEDSI di tingkat daerah ke dalam struktur program SKALA, sehingga konteks lokal dapat diatasi dan meningkatkan ketepatan waktu dan relevansi respons SKALA terhadap kebutuhan lokal. Pipit juga memupuk lingkungan kolaborasi dan dukungan di antara koordinator GEDSI, mendorong dukungan sejawat untuk berbagi saran dan tips melalui WhatsApp, sehingga meningkatkan strategi pemecahan masalah dan intervensi kolektif.
Lebih lanjut, dia mengatakan dukungan kuat dari pimpinan senior di Departemen Luar Negeri dan Perdagangan Australia (DFAT) sangat penting bagi keberhasilan inisiatif GEDSI. Komitmen pemerintah Australia telah menghasilkan dukungan finansial besar bagi GEDSI, menjadikan SKALA sebagai pelopor dalam sumber daya GEDSI pada program pembangunan di Indonesia.
Berkolaborasi untuk Dampak
Peran Pipit sebagai Pimpinan GEDSI SKALA juga memungkinkannya mendukung integrasi GEDSI dalam interaksi pemerintahan lebih luas.
Dia menyatakan “Dukungan SKALA telah berkontribusi pada finalisasi indeks ketidaksetaraan gender dan berkontribusi pada gender tagging dalam sistem pelaporan keuangan dengan Kementerian Keuangan.”
Semua upaya ini sangat penting untuk memastikan agenda pembangunan di tingkat nasional dan daerah mencakup pertimbangan penting GEDSI.
Pipit menekankan pentingnya gender tagging dalam pengelolaan keuangan publik, khususnya pekerjaan yang dilakukan tim SKALA secara kolaboratif dengan Kementerian Keuangan dan pemerintah daerah. Menurutnya, kerja ini sangat tepat waktu karena sejalan dengan rencana pembangunan jangka panjang Pemerintah Indonesia dan kerangka kesetaraan gender yang baru. Dia menekankan, lewat kerja sama dengan Kementerian Dalam Negeri dan Bappenas sejak awal, tujuannya adalah mengintegrasikan gender tagging secara komprehensif ke dalam proses perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, pemantauan, evaluasi dan pelaporan.
Pipit pun optimistis bahwa gender tagging akan berkembang menjadi disability tagging.
“Setelah memiliki siklus penuh dalam gender tagging, kita dapat beralih ke disability tagging. Ini adalah strategi kami. Kami tidak memaksakan, mari kita lakukan bersama-sama, karena kami tahu ini sangat rumit dan memiliki banyak pertimbangan.”
Dia menjelaskan memulai dengan gender merupakan hal strategis karena isu ini lebih dipahami pemerintah daerah, terutama jika dibandingkan dengan kesadaran disabilitas di Indonesia yang baru meningkat signifikan pada delapan tahun terakhir. Pipit mengatakan, sangat penting melibatkan jaringan disabilitas dalam proses ini untuk menjadikan proses perencanaan dan penganggaran pembangunan lebih inklusif dan responsif terhadap kebutuhan kelompok rentan. Pipit juga mencatat bahwa praktik tagging memberikan wawasan yang dapat membantu menegakkan dan memantau peraturan GEDSI dengan lebih efektif.
Dia menilai pengembangan instrumen gender tagging secara kolaboratif bersama Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri, dan Bappenas adalah sebuah karya besar. Pemantauan dan evaluasi instrumen tersebut direncanakan hadir di beberapa provinsi di Indonesia. Dia menegaskan pentingnya mendokumentasikan proses pemantauan untuk mendukung Pemerintah Indonesia dalam mengarusutamakan GEDSI di tingkat lokal, menunjukkan pencapaian, mengidentifikasi bidang-bidang perbaikan, dan menjadi dasar upaya penandaan GEDSI di masa depan.
Mengatasi tantangan terhadap GEDSI
Dalam perannya di SKALA, Pipit menemukan salah satu aspek paling menantang adalah meningkatkan kesadaran di kalangan tim internal tentang pentingnya memahami dan mengintegrasikan isu-isu GEDSI ke dalam kerja mereka.
Dia menekankan, “Ini GEDSI yang sesungguhnya. Jadi, Anda perlu memahami isu-isu ini dan pendekatannya jika Anda benar-benar ingin membuat SKALA berhasil.”
Membangun kapasitas pemangku kepentingan juga merupakan tantangan besar tersendiri. Pipit mengacungkan jempol terhadap keahlian tematik dalam pengelolaan keuangan publik, data dan analisis, serta standar layanan minimum di tim SKALA. Namun, dia mencatat perlunya mengintegrasikan pertimbangan GEDSI ke dalam upaya ini untuk memastikan semua orang mendapat manfaat dari perubahan positif. Dia mengatakan proses ini penting untuk membangun insentif, tidak hanya bagi SKALA tetapi juga bagi seluruh pemangku kepentingan termasuk pemerintah Indonesia, DFAT Australia, dan DT Global. Pendekatan ini memerlukan advokasi berkelanjutan dan pemahaman mendalam mengenai cara kerja pemerintah. Dengan demikian, keterlibatan pemangku kepentingan di kementerian yang memiliki pengetahuan sangat penting untuk implementasi efektif dan saling menguntungkan. Pipit menyoroti setiap lembaga pemerintah yang mempunyai cara kerjanya masing-masing. Meski terdapat banyak hambatan, advokasi strategis dan pendekatan keterlibatan yang luwes membuka peluang baru memperkuat intervensi GEDSI dalam inisiatif pemerintah.
“Menjadi orang GEDSI berarti menjadi penganjur seumur hidup. Di mana saja, kapan saja,” kata Pipit sambil tersenyum.
Refleksi Kepemimpinan Inklusif
Pipit menekankan pentingnya pendekatan kepemimpinan bijaksana dan inklusif. Menurutnya, menjadi seorang pemimpin berarti harus siap menghadapi banyak tantangan. Namun dia juga menekankan perlunya menghindari sikap reaktif. Menurutnya, kerja tim dan komunikasi efektif dengan kementerian dan mitra itu sangatlah penting dalam situasi sulit sekalipun. Meminta nasihat dari supervisor dan menghadapi tantangan dengan bijaksana akan membantu memastikan hubungan baik dengan semua mitra tetap terjaga.
“Menjadi pemimpin berarti harus mendengarkan. Harus ada waktu berdiskusi dan ngobrol, karena terkadang ide penting justru diperoleh tidak melalui sesi formal,” jelasnya. “Diskusi informal dan percakapan empat mata yang mendalam kerap melahirkan wawasan paling berharga.”
Pipit mengatakan kepemimpinan bukanlah soal gelar, melainkan soal membangun rasa hormat yang tulus melalui tindakan. Memimpin dengan memberi contoh dan menunjukkan komitmen terhadap tujuan adalah elemen penting filosofinya. Dia percaya bahwa menciptakan lingkungan inklusif adalah tanggung jawab bersama, dan kepemimpinan tertinggi perlu menunjukkan komitmen terhadap inklusivitas. Membangun ruang kerja inklusif memerlukan pemahaman dan mengatasi keberagaman dalam tim. Pipit menggarisbawahi pentingnya mendidik dan meningkatkan kapasitas seluruh tim untuk memahami dan mengakomodasi berbagai kemampuan.
Pipit memandang pembelajaran seumur hidup sebagai sebuah karakteristik penting bagi seorang pemimpin. Komitmennya terhadap inklusivitas dan pemberdayaan didorong oleh pemahaman mendalam tentang tantangan yang dihadapi komunitas marginal dan tekad memimpin dengan memberi contoh, menciptakan lingkungan yang mendukung dan inklusif bagi semua.
“Saya terus belajar bagaimana menjadi pemimpin inklusif, namun tidak pernah cukup. Saya tahu saya masih memiliki banyak kelemahan, untuk itu saya berusaha jadi lebih baik setiap hari.”
Pesan untuk para profesional muda: Berani bermimpi
Pipit sangat menekankan pentingnya bermimpi besar dan memiliki visi jelas.
Dia menjelaskan, “Filosofi ini saya dapatkan ketika bekerja di Komnas Perempuan, yakni filosofi ‘Berani Bermimpi’. Sebab, jika Anda tidak bisa bermimpi, jika Anda tidak bisa membayangkan siapa diri Anda, dan apa yang ingin Anda sumbangkan terhadap masyarakat, sulit membuat peta jalan.”
Dia sangat menyarankan untuk tidak fokus pada jabatan semata. Sebaliknya, dia meminta para profesional muda untuk terhubung dengan lingkungannya dan fokus menjalankan tugas dengan kemampuan terbaiknya. Dia percaya pengakuan dan peluang muncul secara alami jika potensi seseorang terlihat jelas di mata kolega dan pimpinan.
Berkaca pada kariernya sendiri, dia menyebutkan pentingnya mengetahui kapan waktu untuk melanjutkan perjalanan. Sebagian tanda-tandanya antara lain ketidakselarasan tujuan organisasi dengan visi pribadi, kurangnya peluang tumbuh, atau perasaan terlalu nyaman.
“Ketika Anda merasa sangat nyaman, itu pertanda sebenarnya Anda perlu mencari tantangan lain,” ujarnya.
Dia mendorong orang bekerja di bidang yang sesuai minatnya, karena hal ini akan menghasilkan kinerja dan kontribusi luar biasa di luar lingkup kerja.
Dia juga menyoroti pentingnya kebijaksanaan dan kematangan emosi, terutama ketika menghadapi perselisihan atau tantangan. Belajar menangani situasi dan orang-orang sulit adalah bagian dari pertumbuhan profesional. Dia memotivasi siapapun untuk mau bergabung dalam pekerjaan sukarela dan terhubung dengan gerakan sosial. Sebab, pengalaman ini sangat penting dalam perkembangan kariernya sendiri.
Pipit mendorong para profesional muda bekerja tekun dan penuh semangat, percaya bahwa tantangan akan membuat kita lebih bijaksana dan bertanggung jawab.
Dia menyimpulkan, “Lakukan saja, lakukan pekerjaan Anda dengan penuh semangat dan segalanya akan datang dengan sendirinya. Semuanya akan terjadi. Tantangan yang datang kepada Anda menjadikan Anda dewasa dan membuat Anda lebih bijak. Setelah itu, alam semesta akan memberi Anda lebih banyak tanggung jawab karena Anda sudah mampu menanganinya.”
Masa depan GEDSI
Pipit percaya dukungan politik berkelanjutan sangat penting untuk memajukan GEDSI di Indonesia. Apalagi menurut pengamatannya, meski isu GEDSI sering mendapat perhatian besar selama masa pemilu, komitmen terhadap GEDSI cenderung menurun setelah pemilu.
Dia merekomendasikan peningkatan kesadaran partai politik dan badan legislatif Indonesia (MPR/DPR) melalui analisis provinsi komprehensif mengenai isu-isu GEDSI. Dengan mengomunikasikan secara jelas tantangan yang dihadapi kelompok rentan dan bagaimana ini dapat diatasi, dia mendorong pentingnya peningkatan pemahaman para pembuat kebijakan di semua tingkat pemerintahan. Pendekatan ini bertujuan memastikan permasalahan nyata kelompok rentan disorot dan ditangani secara efektif.
Pipit juga menggarisbawahi pentingnya upaya pembangunan yang memberi manfaat bagi kelompok paling rentan.
“Apa pun sektornya, jika kita tidak bisa memastikan pekerjaan ini bermanfaat bagi kelompok paling rentan, berarti kita masih punya banyak pekerjaan rumah,” kata Pipit.
Menurutnya, pembangunan sejatinya diukur dari peningkatan kesejahteraan komunitas dan masyarakat. Terlepas dari apakah fokusnya pada infrastruktur, layanan dasar, iklim, atau energi, dampak terhadap kelompok rentan harus menjadi pertimbangan utama.
Dia menekankan pentingnya memanfaatkan keberhasilan inisiatif yang sedang berjalan untuk menjadi dasar kebijakan di masa depan. Pipit melihat perlunya memadukan dan memetik pembelajaran dari proyek-proyek yang sedang berjalan untuk membuat ringkasan kebijakan. Kemudian ringkasan tersebut dapat digunakan untuk mengangkat diskusi ke tingkat nasional dan selanjutnya menjadi masukan bagi strategi daerah. Proses siklus pembelajaran dan penerapan ini bertujuan menciptakan lingkungan kebijakan yang lebih kuat dan inklusif.
Sebagai penutup, Pipit menyoroti peran penting dukungan politik berkelanjutan, analisis komprehensif, dan komunikasi efektif untuk memajukan GEDSI di Indonesia. Dengan memastikan upaya pembangunan memberikan manfaat bagi kelompok paling rentan dan mempertahankan fokus pada pertumbuhan inklusif, kemajuan pesat bisa tercapai.
“Pembangunan yang sukses adalah ketika kesejahteraan masyarakat meningkat,” tegasnya, menggarisbawahi visinya tentang pembangunan inklusif.
1.Pada Mei 2024, Pipit pindah ke peran baru sebagai Penasihat Inklusi di ASEAN.
2.Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) adalah lembaga independen di Indonesia yang didirikan pada 1998 untuk menghapuskan kekerasan terhadap perempuan dan menegakkan hak asasi perempuan. Didanai anggaran nasional dan donor swasta, mandatnya mencakup observasi, pelaporan, pengaruh kebijakan, penelitian, pemantauan, dan kerja sama internasional.
3.Solidaritas Perempuan adalah organisasi feminis yang didirikan pada 1990 untuk menciptakan tatanan sosial yang demokratis, adil, dan berwawasan lingkungan berdasarkan hubungan setara antara laki-laki dan perempuan.
4.Indonesia untuk Kemanusiaan bertujuan memobilisasi sumber daya untuk transformasi sosial melalui metode yang inovatif, terbuka, dan akuntabel. Mereka bekerja mendukung kelompok masyarakat mencapai tujuannya dengan mendorong inisiatif bermakna dan kolaborasi efektif sambil membangun otonomi dan keberlanjutan gerakan sosial melalui peningkatan kapasitas untuk penggalangan sumber daya yang efektif.
5.Inisiatif PNPM Peduli bertujuan memberdayakan masyarakat marginal mencapai kemandirian lebih besar dan memperbaiki kondisi sosial-ekonomi mereka. Diluncurkan pada Juni 2011, program ini menyalurkan dana hibah kepada Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) di tingkat nasional dan lokal untuk mendukung kelompok marginal, termasuk anak jalanan, perempuan, dan mereka yang tinggal di daerah terpencil, dengan menyediakan sumber daya untuk layanan usaha, pendidikan, dan kesehatan.
6.KOMPAK adalah fasilitas yang didanai Pemerintah Australia untuk mendukung Indonesia mencapai pengentasan kemiskinan dan mengatasi kesenjangan. Berlangsung dari Januari 2015 hingga Juni 2022 dengan dana senilai AUD 177 juta, program ini fokus pada peningkatan layanan dasar dan peluang ekonomi bagi masyarakat miskin, selaras dengan RPJMN 2015-2019. Beroperasi di tingkat nasional dan daerah, KOMPAK berfokus pada tata kelola sektor publik, desentralisasi penyediaan layanan, dan pemberdayaan masyarakat.
7.Persatuan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) merupakan organisasi payung bagi berbagai kelompok disabilitas di Indonesia yang didirikan pada 1987. Visinya adalah menjamin partisipasi penuh dan kesempatan yang sama bagi penyandang disabilitas dalam segala aspek kehidupan.