Pemerintah Provinsi Papua Barat Daya Mendorong Penyusunan Rencana Aksi Daerah Penyandang Disabilitas (RAD-PD) untuk Terwujudnya Pembangunan Inklusif
Pemerintah Provinsi Papua Barat Daya menyelenggarakan workshop penyusunan Rencana Aksi Daerah Penyandang Disabilitas (RAD-PD) sebagai langkah penting menuju pembangunan yang lebih inklusif. Sesi pembukaan berlangsung pada 29 September, dan pertemuan pembahasan RAD-PD dilaksanakan pada 1-2 Oktober 2025. Workshop ini secara resmi dibuka oleh Wakil Gubernur Papua Barat Daya, Ahmad Nausrau, dan dihadiri oleh berbagai pemangku kepentingan.
Peserta yang hadir meliputi perwakilan dari Kementerian PPN/Bappenas, organisasi perangkat daerah (OPD), mitra pembangunan seperti Program SKALA, Yayasan BICARA, dan YAKKUM, serta organisasi penyandang disabilitas (OPDis) di Papua Barat Daya, antara lain Persatuan Tuna Netra Indonesia (Pertuni), Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI), dan Komunitas Tuli. Selain itu, kalangan akademisi juga turut hadir, termasuk Universitas Pendidikan Muhammadiyah Sorong (Unimuda), dan Universitas Victory Sorong. Kehadiran lintas pihak ini menegaskan komitmen bersama untuk menerjemahkan amanat konstitusi menjadi kebijakan yang nyata, inklusif, dan berdampak bagi masyarakat.
Ahmad Nausrau, Wakil Gubernur Papua Barat Daya, dalam sambutannya, menekankan komitmen penuh pemerintah daerah terhadap isu disabilitas.
“Penyandang disabilitas di Papua Barat Daya adalah bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat kita. Mereka memiliki hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan, kesehatan, pekerjaan yang layak, serta kesempatan untuk berpartisipasi aktif dalam pembangunan,” kata Nausrau.
Pada sesi yang berbeda, Kepala Badan Perencanaan, Pembangunan, Riset dan Inovasi Daerah (Bapperida), Rahman, menegaskan bahwa penyusunan RAD sangat strategis karena isu disabilitas adalah persoalan lintas sektor yang membutuhkan kebijakan terarah.
“Kita ingin memastikan pembangunan di Papua Barat Daya berlandaskan prinsip ‘leave no one behind’, tidak boleh ada seorang pun yang tertinggal, termasuk saudara-saudara kita penyandang disabilitas,” ujarnya.
Kegiatan yang didukung oleh SKALA, Program Kemitraan Australia-Indonesia untuk Akselerasi Layanan Dasar, dan Program INKLUSI, Kemitraan Australia-Indonesia Menuju Masyarakat Inklusif ini merupakan kelanjutan dari proses advokasi panjang yang dimulai oleh kelompok masyarakat sipil yaitu Yayasan Bicara, yang mendorong pemerintah daerah memiliki rencana teknis untuk pemenuhan hak penyandang disabilitas sesuai amanat Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 dan Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2019 yang memandu penyusunan Rencana Induk Penyandang Disabilitas (RIPD). Selain itu, Pertuni Papua Barat Daya turut berperan aktif dalam mendorong proses penyusunan peraturan daerah (Perda) penyandang disabilitas. Mereka telah menyusun draft rancangan Perda dan telah berkomunikasi dengan Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan juga Gubernur Papua Barat Daya. Kedua inisiatif tersebut menjadi pijakan penting untuk memastikan adanya dasar kebijakan, pelaksanaan, dan keberlanjutan dukungan pemerintah daerah dalam mewujudkan pembangunan Papua Barat Daya yang inklusif.
Dalam diskusi pembukaan workshop, para penyandang disabilitas secara aktif menyampaikan tantangan dan masukan untuk diakomodasi dalam RAD-PD. Salah satu isu utama adalah terkait pendataan dan pemenuhan dokumen kependudukan bagi penyandang disabilitas. Pertuni dan Komunitas Tuli menyampaikan sulitnya mengakses layanan dokumen kependudukan (NIK) di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil), di mana sistem antrean yang tidak ramah disabilitas menjadi kendala besar. Persoalan ini tidak hanya terjadi didaerah, tetapi juga merupakan isu nasional. Dwi Rahayuningsih dari Direktorat Penanggulangan Kemiskinan dan Kesejahteraan Sosial (PKKS) Bappenas menegaskan adanya kesenjangan data yang masif: Disdukcapil hanya mencatat sekitar 750 ribu penyandang disabilitas, sementara Regsosek menemukan lebih dari 19 juta penyandang disabilitas yang belum memiliki NIK.
Selain tantangan teknis dan data, workshop ini juga menekankan pentingnya perubahan pola pikir sebagai fondasi implementasi kebijakan. Dalam sesi khusus yang dipandu oleh Johanna K. N. Kamesrar dari Jaringan Kerja Lembaga Pelayanan Kristen di Indonesia (JKLPKI), para peserta diajak untuk memahami etika bekerja bersama dan berkomunikasi dengan penyandang disabilitas. Sesi ini menggarisbawahi perlunya pergeseran paradigma dari pendekatan belas kasihan (charity-based) menjadi pendekatan berbasis pemenuhan hak (rights-based), di mana penyandang disabilitas diakui sebagai subjek pembangunan, bukan sekadar objek bantuan.
Untuk menjawab tantangan multidimensi tersebut, lokakarya penyusunan RAD berfokus pada tujuh sasaran strategis: pendataan, lingkungan tanpa hambatan, akses politik, pemberdayaan, ekonomi inklusif, pendidikan, serta layanan kesehatan. Namun, sebagaimana ditekankan dalam diskusi, pemenuhan hak atas layanan dasar harus menjadi prioritas utama. Kementerian PPN/Bappenas menegaskan bahwa kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur dasar adalah kewajiban fundamental pemerintah yang harus didahulukan di atas pemenuhan aksesibilitas untuk kebutuhan lain, seperti hiburan. Pemenuhan ini bukan sekadar soal ketersediaan fasilitas fisik, melainkan juga harus berlandaskan prinsip inklusivitas serta penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak penyandang disabilitas.


