Krisis Iklim, Seruan untuk Merancang Layanan Dasar yang Merangkul Semua

31/07/2025

Ketika banjir memicu peningkatan kasus malaria, kelompok rentan -terutama perempuan hamil dan anak-anak di bawah usia 12 tahun- sering kali menjadi pihak yang paling terdampak. Di tengah akses layanan kesehatan yang semakin terbatas, mereka menghadapi risiko kesehatan yang lebih tinggi. Perempuan hamil rentan mengalami komplikasi yang membahayakan ibu dan janin, sementara anak-anak lebih mudah terinfeksi karena daya tahan tubuh mereka belum sepenuhnya berkembang. Dalam situasi seperti ini, layanan kesehatan tidak bisa disamaratakan. Sebaliknya, respons harus disesuaikan dengan kebutuhan spesifik tiap kelompok. Tanpa pendekatan ini, bencana akibat krisis iklim hanya akan memperlebar kesenjangan yang sudah ada. Agar aksi iklim benar-benar efektif, prinsip Kesetaraan Gender, Disabilitas, dan Inklusi Sosial (GEDSI) perlu diintegrasikan sejak awal dalam perencanaan dan penyediaan layanan dasar. 

Pesan utama ini disampaikan oleh Jannata “Egi” Giwangkara, pakar iklim dan energi dari IKLIMSS, serta Chandra Sugarda, spesialis GEDSI dan perubahan iklim, dalam sesi Knowledge Sharing bertajuk Penyediaan Layanan Dasar yang Tangguh di Tengah Perubahan Iklim, yang diselenggarakan Program SKALA pada 24 Juli 2025. Kegiatan ini diikuti oleh peserta dari tim SKALA di Jakarta dan berbagai provinsi, baik secara langsung maupun daring. 

Krisis Iklim adalah Krisis Layanan Dasar 

“Ketika suhu tubuh kita naik satu atau dua derajat, kita mengalami demam. Bumi pun demikian. Kenaikan suhu global lebih dari 1,5 derajat Celsius dapat menyebabkan kerusakan yang tidak dapat dipulihkan,” ujar Egi Giwangkara. 

Egi menjelaskan bahwa pemanasan global yang telah mencapai 1,2°C harus segera ditekan. Tanpa aksi nyata dan segera, dunia akan menghadapi konsekuensi jangka panjang, seperti krisis pangan, migrasi penduduk, dan kerusakan ekologis. Perubahan iklim juga secara langsung mengancam ketersediaan dan kualitas layanan dasar seperti air bersih, pasokan pangan, dan layanan kesehatan; yang akan semakin sulit diakses di tengah krisis. 

Meskipun perubahan iklim terjadi secara global, dampaknya dirasakan secara berbeda oleh tiap kelompok masyarakat. Perempuan, anak-anak, penyandang disabilitas, dan masyarakat adat menghadapi risiko yang lebih besar, dan memiliki sumber daya yang lebih terbatas untuk beradaptasi. Menurut laporan PBB, perempuan dan anak-anak menghadapi risiko kematian hingga 14 kali lebih tinggi dibandingkan laki-laki dalam situasi bencana cuaca ekstrem, terutama karena keterbatasan akses informasi, mobilitas, pengambilan keputusan, dan sumber daya. 

Kelompok Rentan Menghadapi Tantangan yang Sama dengan Daya Adaptasi yang Berbeda 

Chandra Sugarda menyoroti bahwa dampak perubahan iklim terhadap kelompok rentan berbeda-beda, terutama dalam mengakses layanan dasar. Dalam keadaan darurat, penyandang disabilitas sering kali menghadapi hambatan fisik dan informasi.

“Mereka kerap kesulitan menjangkau titik evakuasi, dan pesan darurat jarang disampaikan dalam format yang mudah mereka akses,” jelasnya. 

Masyarakat adat menghadapi tantangan serupa. Lokasi tinggal mereka yang terpencil membatasi akses terhadap informasi, layanan kesehatan, sementara pola iklim yang tidak menentu mengancam sumber pangan dan tanaman obat yang mereka andalkan. Rumah tangga miskin pun tidak luput dari dampak perubahan iklim. Ketika sumber air mengering, perempuan harus berjalan lebih jauh untuk mendapatkan air bersih, yang meningkatkan risiko kekerasan berbasis gender dan mengurangi waktu mereka untuk kegiatan produktif. 

Melihat keragaman kerentanan ini, Chandra menekankan perlunya pendekatan yang kontekstual dan responsif GEDSI dalam penyediaan layanan dasar.

“Ketika layanan dasar dirancang dengan pendekatan yang seragam, kelompok rentan justru sering kali tidak terjangkau. Penanganan yang sama rata untuk semua tidak akan berhasil. Harus ada intervensi yang ekstra dan kontekstual,” ujarnya. 

Lensa Gender dan Iklim dalam Perencanaan, Pembiayaan, dan Partisipasi 

Indonesia memiliki momentum dan kerangka kebijakan untuk mengintegrasikan perspektif gender dan iklim ke dalam pembangunan. Peluncuran Rencana Aksi Nasional Gender dan Perubahan Iklim (RAN GPI) pada 2024 menjadi tonggak penting. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025–2045 juga menetapkan pembangunan berketahanan iklim sebagai salah satu prioritas utama. Di tingkat global, komitmen Indonesia tertuang dalam Enhanced Nationally Determined Contribution (Enhanced NDC). 

Baik Egi maupun Chandra sepakat bahwa perencanaan dan penganggaran yang mengabaikan aspek gender dan risiko iklim berisiko melemahkan efektivitas kebijakan. Kebijakan yang inklusif dan responsif sangat penting untuk mempersempit kesenjangan dan menjangkau kelompok yang paling terdampak. Egi menyoroti pentingnya aspek pembiayaan.

“Mitigasi dan adaptasi tidak bisa bergantung hanya pada keuangan publik. Kita perlu membangun ekosistem yang melibatkan kontribusi sektor swasta dalam pendanaan aksi iklim,” ujarnya. 

Chandra menambahkan bahwa inklusivitas dalam perencanaan harus diawali dengan partisipasi yang inklusif.

“Ketika pemerintah menyusun kebijakan iklim, perempuan, penyandang disabilitas, dan masyarakat adat harus dilibatkan. Hanya dengan begitu, kebijakan bisa benar-benar mencerminkan realitas yang mereka hadapi,” jelasnya. 

Sesi pembelajaran selama dua jam ini memperkuat pemahaman SKALA tentang pentingnya mengintegrasikan perspektif gender dan iklim ke dalam seluruh kerja program, khususnya dalam mendukung pemerintah daerah dalam pengelolaan keuangan publik dan penyediaan layanan dasar yang inklusif. Dengan pendekatan ini, perencanaan dan penganggaran di tingkat daerah diharapkan mampu mengenali kerentanan masyarakat serta memperkuat kapasitas adaptasi dalam menghadapi tantangan iklim. 

Sinergi dan Kolaborasi untuk Akselerasi Layanan Dasar (SKALA) adalah Program Kemitraan Australia-Indonesia untuk mendukung Pemerintah Indonesia dalam upaya mengurangi kemiskinan dan ketimpangan dengan meningkatkan penyediaan layanan dasar bagi masyarakat miskin dan rentan di daerah tertinggal.

HUBUNGI KAMI

Sinergi dan Kolaborasi untuk Akselerasi Layanan Dasar (SKALA) adalah Program Kemitraan Australia-Indonesia untuk mendukung Pemerintah Indonesia dalam upaya mengurangi kemiskinan dan ketimpangan dengan meningkatkan penyediaan layanan dasar bagi masyarakat miskin dan rentan di daerah tertinggal.

HUBUNGI KAMI

SKALA dikelola oleh 

SKALA @ Copyright 2023