Hari Perempuan Internasional 2025: Membangun Kesetaraan Gender dari Keluarga untuk Mendorong Kepemimpinan Perempuan

25/03/2025

“Membangun kesetaraan gender dimulai dari rumah/keluarga.” Pesan ini menjadi tema utama dalam acara Knowledge Sharing SKALA yang berlangsung pada 13 Maret 2025 untuk merayakan Hari Perempuan Internasional. Sesi bertajuk “Membangun Kesetaraan Gender di Lingkup Keluarga untuk Mendorong Kepemimpinan Perempuan” dilaksanakan secara hybrid dan dihadiri oleh perwakilan dari Kedutaan Besar Australia, DT Global, staf SKALA, dan mitra pemerintah dari 7  provinsi yang didukung oleh SKALA. 

Dipandu oleh Policy Partnership Lead SKALA, Iskhak Fatonie, diskusi menghadirkan tiga narasumber, yaitu Direktur Eksekutif Satu Data Indonesia Bappenas, Dini Maghfirra, M.Sc., Ph.D.;  Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Provinsi Gorontalo, dr. Yana Yanti Sulaeman; dan Perencana Ahli Muda Bappeda Kabupaten Timor Tengah Selatan, Alexander J. Hayer, S.T. (yang biasa dipanggil Bapak Lexy). Mereka berbagi pandangan dan pengalaman tentang bagaimana menumbuhkan dan membangun kesetaraan gender dimulai dari keluarga.  

Tema diskusi ini sangat relevan dengan upaya Pemerintah Indonesia dalam mewujudkan visi Indonesia Emas 2045. Hal ini tecermin dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045, khususnya pada tujuan Indonesia Emas (IE) 14: Keluarga Berkualitas, Kesetaraan Gender, dan Masyarakat Inklusif.  

Untuk mendukung visi jangka panjang tersebut, Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) 2025-2029 menetapkan salah satu sasaran utama pembangunan, yaitu memperkuat kemandirian, kepemimpinan, dan representasi perempuan dalam pengambilan keputusan. Sasaran ini diperkuat oleh kebijakan yang mendukung, akses sumber daya, serta norma sosial budaya yang mendorong partisipasi perempuan secara bermakna dalam pembangunan.  

Kemajuan untuk mencapai target akan diukur melalui beberapa indikator, seperti persentase perempuan di jabatan tingkat pratama dan madya, di posisi manajerial, dan sebagai kepala desa. 

Tantangan dan Persoalan Ketidaksetaraan Gender  

Ketiga narasumber mengawali diskusi dengan menggarisbawahi berbagai persoalan ketidaksetaraan gender yang masih terjadi karena faktor budaya, sosial, dan struktural. Ibu Yana menyoroti praktik budaya yang membahayakan seperti sunat perempuan (mongubingo) yang masih terjadi di Gorontalo.  

“Praktik seperti ini bukan hanya merugikan kesehatan perempuan, tapi juga memperkuat diskriminasi yang sudah mengakar,” ujarnya. 

Bapak Lexy menambahkan bahwa norma-norma gender tradisional serta cara pandang yang patriarkal masih menjadi penghalang besar.  

“Kontribusi perempuan sering kali dianggap sebelah mata. Norma-norma ini menciptakan hambatan untuk perempuan tampil sebagai pemimpin,” katanya. 

Sementara itu, Dini Maghfirra menyoroti banyaknya peran yang harus dijalani perempuan, melebihi apa yang sering disebut sebagai beban ganda.  

“Peran perempuan bukan hanya dua, tapi bisa dikatakan empat sekaligus, yaitu sebagai profesional, istri, ibu, dan anak,” ujarnya.  

Dalam upaya mendorong lebih banyak pemimpin perempuan di berbagai sektor, tanpa dukungan yang memadai, banyak perempuan mengorbankan peluang karier dan pengembangan diri. 

Membangun Kesetaraan Gender melalui Keluarga  

Meski masih banyak tantangan, ketiga narasumber sepakat bahwa keluarga memegang peran penting dalam membentuk lingkungan yang mendukung perempuan menjadi pemimpin di bidangnya.  

Dini berbagai pengalaman dukungan dari suami dan tempat kerja adalah support system terbaik, termasuk saat ia memutuskan menempuh studi S2 dan S3 ke luar negeri. Sebagai pasangan, Dini dan suami bersepakat dalam hal pola pengasuhan anak. Meskipun tidak sepenuhnya berada pada saat anak – anak bertumbuh, Dini merasa bisa mengelola dengan dukungan penuh dari suami. Dini berbagi hal yang membanggakannya:  

“Ketika anak saya bilang, ‘Aku mau seperti ibu kalau sudah besar,’ itu adalah pencapaian tertinggi bagi saya,” ungkapnya. 

Sejalan dengan itu, Bapak Lexy mengamini pentingnya peran laki-laki dalam membangun keluarga yang setara. Sebagaimana praktek baik yang ia jalani bersama istri. Mereka berkomitmen untuk saling terbuka, mendukung, dan berbagi peran dalam kehidupan sehari-hari. Istri Bapak Lexy, Grace A. Fallo,  adalah Camat Kota Soe, posisi yang jarang dijabat oleh perempuan.  

“Saya selalu menceritakan ke anak-anak betapa hebatnya ibu mereka—bisa bekerja, kuat, dan berdedikasi. Saya ingin anak-anak saya tumbuh dengan saling menghormati, laki – laki dan perempuan,” pesannya. 

Kebijakan untuk Perubahan yang Inklusif 

Diskusi juga menyoroti pentingnya kebijakan publik untuk menciptakan ruang yang lebih inklusif untuk mendorong lebih banyak pemimpin perempuan khususnya di sektor publik (pemerintahan). Dini menekankan pentingnya aksi afirmatif untuk membuka akses lebih luas bagi perempuan, terutama di sektor yang selama ini didominasi laki-laki. Ia juga mendorong penerapan kebijakan ramah keluarga di tempat kerja, seperti cuti parental yang lebih memadai untuk ayah, serta fasilitas penitipan anak.  

“Kalau kita bisa memberikan dukungan pada perempuan di fase hidup yang krusial, seperti saat hamil dan pasca-melahirkan, kita bisa memastikan mereka kembali ke dunia kerja dan bahkan terus berkembang,” ungkapnya. 

dr. Yana dan Lexy juga mendukung masih perlu penguatan regulasi terkait kuota kepemimpinan perempuan di lembaga pemerintahan sangat penting. Mereka mencatat bahwa saat ini kuota 30 persen baru diterapkan di Parlemen, dan menekankan perlunya perluasan kebijakan ini ke posisi-posisi strategis di eksekutif dan birokrasi. 

Selain itu, dr. Yana juga menekankan pentingnya target dan indikator yang jelas bagi pemerintah daerah untuk membangun lingkungan yang kondusif mendukung perempuan. Hal ini termasuk dalam pelaksanaan anggaran responsif gender serta upaya penurunan kekerasan terhadap perempuan dan anak.  

“Kita butuh sasaran yang konkret, apakah anggaran responsif gender diterapkan, dan apakah kekerasan terhadap perempuan berhasil ditekan. Dengan target yang jelas, upaya kita akan lebih terarah dan berdampak,” tutupnya. 

Diskusi ini menyimpulkan satu hal penting bahwa upaya mendorong lebih banyak pemimpin perempuan bukan hanya dari kebijakan, ruang kerja dan atau ruang rapat, tapi dari rumah atau entitas terkecil di dalam masyarakat, yaitu keluarga. Ketika perempuan didukung dan mendapatkan pendidikan, pengasuhan yang setara di dalam keluarganya, mereka akan lebih percaya diri untuk tampil dan memimpin di ruang publik.

Sinergi dan Kolaborasi untuk Akselerasi Layanan Dasar (SKALA) adalah Program Kemitraan Australia-Indonesia untuk mendukung Pemerintah Indonesia dalam upaya mengurangi kemiskinan dan ketimpangan dengan meningkatkan penyediaan layanan dasar bagi masyarakat miskin dan rentan di daerah tertinggal.

HUBUNGI KAMI

Sinergi dan Kolaborasi untuk Akselerasi Layanan Dasar (SKALA) adalah Program Kemitraan Australia-Indonesia untuk mendukung Pemerintah Indonesia dalam upaya mengurangi kemiskinan dan ketimpangan dengan meningkatkan penyediaan layanan dasar bagi masyarakat miskin dan rentan di daerah tertinggal.

HUBUNGI KAMI

SKALA dikelola oleh 

SKALA @ Copyright 2023