Aksi Inklusi: Mewujudkan Ruang Bebas Hambatan bagi Penyandang Disabilitas
“Di Nusa Tenggara Barat, SKALA sudah menerapkan kebijakan inklusif. Misalnya, di dapur kantor, tidak ada yang boleh mengubah urutan gula, kopi, krimer, dan teh. Karena kalau posisinya diubah, saya bisa salah menambah kopi ke dalam teh,” canda Jaka Yusuf, Koordinator GEDSI SKALA di Provinsi Nusa Tenggara Barat yang juga seorang tunanetra. Sebagai seorang aktivis disabilitas yang juga berkarya sebagai komedian dengan nama Blindman Jack, Jaka menggunakan komedi – baik dengan humor maupun satir- untuk meningkatkan kesadaran publik tentang inklusi disabilitas.
Kelakar Jaka membawa pesan yang lebih dalam tentang pentingnya menciptakan ruang yang inklusif bagi penyandang disabilitas – dimulai dari aksi-aksi kecil yang dilakukan secara konsisten. Untuk memperkuat upaya ini, SKALA mengadakan sesi internal bertajuk “Awareness Session: Making Our Events Truly Inclusive” pada 3 Desember 2024 untuk memperingati Hari Penyandang Disabilitas Internasional, sebagai rangkaian kampanye 16 Hari Aktivisme Melawan Kekerasan Berbasis Gender, yang berlangsung setiap tahun dari 25 November hingga 10 Desember. Melalui sesi ini, tim SKALA berbagi wawasan dan panduan untuk memastikan lingkungan kerja dan kegiatan SKALA menjadi lebih aksesibel dan inklusif.
Hambatan: Dari Stigma Hingga Infrastruktur
Penyandang disabilitas merupakan bagian yang signifikan dari populasi Indonesia yaitu sebanyak 22,97 juta jiwa (Badan Pusat Statistik, 2023), atau sekitar satu orang dengan disabilitas untuk setiap sepuluh orang tanpa disabilitas. Kendati demikian, mereka terus mengalami peminggiran dan hambatan sistemik untuk mengakses layanan dasar dan berbagai peluang. Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2021 menemukan bahwa rumah tangga dengan penyandang disabilitas memiliki akses yang lebih rendah terhadap layanan sanitasi dibandingkan dengan rumah tangga tanpa penyandang disabilitas. Selain itu, penyandang disabilitas memiliki tingkat partisipasi angkatan kerja yang lebih rendah dibandingkan dengan orang tanpa disabilitas.
Disability Advisor SKALA, Nurul Saadah Andriani, menyoroti berbagai hambatan utama yang dihadapi penyandang disabilitas, terutama hambatan sosial, individu, kebijakan, dan infrastruktur.
“Stigma, prasangka, dan penolakan tetap menjadi hambatan utama yang berkontribusi pada marginalisasi penyandang disabilitas. Masih ada anggapan luas bahwa mereka tidak mampu atau tidak normal,” kata Nurul, yang setiap hari menggunakan tongkat dan terkadang kursi roda untuk perjalanan jauh.
Infrastruktur juga menjadi hambatan signifikan lainnya. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 30 Tahun 2006 telah memberikan pedoman untuk memastikan aksesibilitas bangunan bagi semua, termasuk penyandang disabilitas, lansia, dan perempuan hamil. Namun, banyak bangunan publik dan swasta yang belum memenuhi memenuhi standar ini.
Inklusi sebagai Standar Baru
Kebijakan inklusif yang diterapkan secara konsisten dapat mengatasi hambatan yang dihadapi penyandang disabilitas. Di SKALA, kebijakan ini diterapkan mulai dari proses perekrutan hingga desain tempat kerja. Tiga persen tenaga kerja di SKALA adalah penyandang disabilitas, telah melampaui keharusan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, dimana setidaknya satu persen tenaga kerja perusahaan/ organisasi adalah penyandang disabilitas. Selama proses perekrutan, penyesuaian dilakukan untuk memenuhi kebutuhan spesifik kandidat dengan disabilitas, termasuk penyediaan perangkat dengan fitur suara pembaca layar untuk kandidat dengan gangguan penglihatan. Selain itu, kantor dan toilet sepenuhnya dapat diakses oleh penyandang disabilitas yang menggunakan kursi roda.
Dengan satu kantor pusat, tujuh kantor provinsi di seluruh Indonesia, serta sejumlah besar lokakarya, pertemuan, dan acara yang diadakan setiap tahunnya, SKALA berkomitmen untuk memastikan bahwa semua acara yang diselenggarakan dirancang dan diselenggarakan secara inklusif. Event Support Manager SKALA, Fahrein Utama, berbagi pengalamannya ketika terlibat dalam ASEAN Para Games 2011 di Solo, Jawa Tengah.
“Membantu tidak berarti mengasihani. Saat berinteraksi dengan penyandang disabilitas, kita perlu langsung bertanya tentang kebutuhan mereka, bukan membuat asumsi tentang bantuan yang mereka perlukan,” jelasnya.
Penjelasan Fahrein mencerminkan prinsip utama ketika berinteraksi dengan penyandang disabilitas: menghormati mereka sebagai individu yang memiliki pilihan dan otonomi. Atas dasar ini, SKALA menyusun panduan praktis untuk menyelenggarakan acara secara inklusif. Tiga persyaratan utama yang perlu disiapkan adalah:
- Daftar periksa persiapan acara untuk memastikan aksesibilitas tempat dan kebutuhan pendamping untuk penyandang disabilitas.
- Daftar hadir untuk memahami ragam disabilitas peserta dan kebutuhan mereka.
- Survei umpan balik untuk mengevaluasi inklusivitas kegiatan dan memperbaiki penyelenggaraan ke depan.
Langkah-langkah ini perlu didorong agar inklusivitas menjadi standar baru dalam penyelenggaraan berbagai acara. Seperti yang disampaikan oleh Team Leader SKALA, Petrarca Karetji, “Komunitas disabilitas mengingatkan kita akan keragaman abilitas setiap individu. Namun, menjadi tanggung jawab kita bersama untuk memastikan bahwa setiap orang, terlepas dari kemampuannya, dapat berpartisipasi penuh dan berkolaborasi secara optimal”.