Sinergi SKALA, INOVASI, INKLUSI, dan KONEKSI Dorong Ekosistem Digital yang Lebih Aman dan Inklusif
Risiko daring seperti pelecehan, eksploitasi, misinformasi, dan eksklusi sosial semakin memengaruhi kehidupan perempuan, anak perempuan, anak, serta penyandang disabilitas. Seiring meningkatnya peran platform digital dalam kehidupan sehari-hari, kebutuhan akan ruang maya yang lebih aman, saling menghormati, dan inklusif menjadi semakin mendesak.
Merespons tantangan tersebut, empat program Kemitraan Australia-Indonesia – SKALA, INOVASI, INKLUSI, dan KONEKSI – menyelenggarakan gelar wicara bertajuk “Ekosistem Digital yang Aman dan Inklusif bagi Perempuan, Anak Perempuan, dan Anak” di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada Rabu, 10 Desember 2025. Kegiatan ini merupakan bagian dari kampanye global 16 Days of Activism Against Gender-Based Violence, serta menjadi ruang dialog lintas sektor untuk membahas tantangan dan pendekatan perlindungan di ranah digital.
Dalam forum tersebut, Maliki, Deputi Bidang Pemberdayaan Masyarakat, Kependudukan, dan Ketenagakerjaan Kementerian PPN/Bappenas, menegaskan bahwa kekerasan terhadap perempuan dan anak merupakan tantangan lintas sektor.
“Isu ini tidak dapat diselesaikan oleh satu pihak saja. Diperlukan kerja sama seluruh pemangku kepentingan untuk mendorong perubahan perilaku, norma sosial, serta penguatan sistem perlindungan yang berkelanjutan,” ujarnya.
Pendekatan kolaboratif ini juga disoroti oleh Hannah Derwent, Acting Minister Counsellor for Governance and Human Development Kedutaan Besar Australia di Jakarta.
“Kemitraan Australia-Indonesia dibangun dengan mendengarkan suara dari berbagai lapisan, termasuk guru, anak muda, akademisi, dan pegiat disabilitas. Pengalaman hidup mereka menjadi penting untuk memastikan respons kebijakan yang lebih relevan di tengah meningkatnya penggunaan teknologi digital,” jelas Hannah.
Urgensi isu ini diperkuat oleh paparan Sekretaris Direktorat Jenderal Pengawasan Ruang Digital Kementerian Komunikasi dan Digital (Kemenkomdigi), Mediodecci Lustarini. Ia menyampaikan bahwa internet pada dasarnya tidak dirancang untuk anak, sementara realitas menunjukkan sekitar 75 persen dari 88 juta anak Indonesia telah terhubung dengan dunia digital. Kondisi ini menuntut kesiapan ekosistem digital yang lebih memadai dalam melindungi kelompok rentan.
Data risiko tersebut juga disoroti oleh Asisten Deputi Penyediaan Layanan Anak yang Memerlukan Perlindungan Khusus Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), Ciput Eka Purwianti. Berdasarkan survei nasional tahun 2024, sekitar empat persen anak usia 13–17 tahun, baik laki-laki maupun perempuan, tercatat pernah mengalami kekerasan seksual non-kontak secara daring, seperti paksaan mengirim atau menonton konten intim. Ciput menekankan bahwa proporsi korban anak laki-laki kini setara dengan anak perempuan, sehingga isu perlindungan digital memerlukan kesadaran publik yang lebih luas.
Lebih lanjut, Ciput menyoroti pentingnya peran keluarga sebagai pusat pengasuhan, serta perlunya pemerintah daerah menyediakan ruang aktivitas luring yang berkualitas. Pendekatan ini dipandang penting agar persoalan di ruang digital tidak semata-mata direspons melalui solusi digital.
Melalui kegiatan ini, SKALA, INOVASI, INKLUSI, dan KONEKSI berbagi peran sesuai mandat masing-masing melalui pendekatan yang saling melengkapi. SKALA mendukung penguatan tata kelola pemerintah daerah agar layanan dasar dan standar pelayanan minimal (SPM) bagi masyarakat miskin dan rentan dapat dikoordinasikan dengan lebih baik. INOVASI berkontribusi melalui penguatan kapasitas sekolah dan madrasah, termasuk keterampilan dasar dan literasi digital anak. INKLUSI memperkuat ekosistem perlindungan berbasis komunitas dengan fokus pada kesetaraan gender dan hak penyandang disabilitas, sementara KONEKSI mendukung melalui penguatan riset dan bukti untuk memperkaya dialog kebijakan.
Perspektif daerah disampaikan oleh Rusovanny Halalutu, perwakilan Bappeda Provinsi Gorontalo, yang memaparkan tantangan berbasis data terkait kekerasan terhadap perempuan dan kerentanan sosial ekonomi perempuan kepala keluarga. Menanggapi kondisi tersebut, Pemerintah Provinsi Gorontalo mengintegrasikan perspektif Gender dan Inklusi Sosial ke dalam RPJMD serta membentuk Forum Gorontalo Inklusif Dulohupa sebagai wadah kolaborasi lintas sektor, termasuk dengan satuan pendidikan dan madrasah.
Diskusi juga diperkaya oleh berbagai narasumber dari lembaga internasional, organisasi masyarakat sipil, dan program kemitraan yang membahas tantangan struktural serta praktik perlindungan di ruang digital dari beragam sudut pandang.
Secara keseluruhan, kegiatan ini menjadi ruang berbagi pembelajaran antara pemerintah pusat dan daerah, organisasi masyarakat sipil, serta program SKALA, INOVASI, INKLUSI, dan KONEKSI dalam merespons tantangan perlindungan perempuan dan anak di era digital.

