Membangun Ruang Kerja Inklusif: Refleksi tentang Kesehatan Mental

17/10/2025

Sebagai bagian dari peringatan Hari Kesehatan Mental Sedunia 2025 (World Mental Health Day 2025) bertema “Akhiri Stigma, Dukung Kesehatan Mental di Tempat Kerja”, Komunitas Peduli Inklusi (Komplemen) di lingkungan Direktorat Jenderal Anggaran (DJA), Kementerian Keuangan, mengadakan seminar reflektif tentang pentingnya membangun budaya kerja yang inklusif dan berempati.

Acara yang berlangsung pada Kamis, 9 Oktober 2025, di kantor DJA Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Jakarta ini digelar secara hybrid, sehingga dapat diikuti oleh pegawai Kementerian Keuangan dari seluruh Indonesia. Sekitar 60 peserta hadir secara langsung (offline), sementara jumlah peserta daring masih dikonfirmasi, karena kegiatan ini juga disiarkan ke kantor-kantor Kemenkeu di wilayah.

Seminar menghadirkan dua narasumber: Nurhayati Ratna Saridewi dari Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS) dan Richard Kennedy dari SKALA, Program Kemitraan Australia-Indonesia untuk Akselerasi Layanan Dasar, dengan Gede Surya, psikolog dan konselor Kemenkeu, sebagai moderator.

Seminar ini dibuka oleh Pak Robi Toni, perwakilan dari Ditjen Anggaran Kemenkeu, yang dalam opening remark-nya menekankan pentingnya menjaga kesehatan mental dan menciptakan lingkungan kerja yang inklusif di seluruh Kemenkeu, khususnya di DJA.

“Kesehatan mental dan inklusi bukan hanya tanggung jawab individu, tetapi juga komitmen institusi untuk memastikan setiap pegawai merasa dihargai, didengar, dan didukung,” ujarnya.

Seminar ini menyoroti bahwa isu kesehatan mental tidak dapat dipisahkan dari agenda pembangunan sumber daya manusia yang inklusif dan berkeadilan. Semangat kolektif ini diharapkan dapat menginspirasi direktorat dan unit kerja lain di Kementerian Keuangan untuk membangun jejaring Gender Equality, Disability and Social Inclusion (GEDSI) Champions di institusinya masing-masing, untuk menciptakan ruang aman, produktif, dan berempati bagi semua pegawai.

Dalam paparannya, Richard Kennedy menekankan bahwa inklusi bukan sekadar kebijakan administratif, tetapi fondasi bagi produktivitas, inovasi, dan reputasi organisasi yang berkeadilan.

“Ketika seseorang dipinggirkan, maka ia menjadi rentan, dan kerentanan itu bukan bawaan, tetapi akibat dari struktur sosial yang menutup akses,” ujar Richard.

Ia menjelaskan bahwa hak atas pekerjaan dan akomodasi yang layak di tempat kerja merupakan hak hukum, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas serta Konvensi PBB tentang Hak-Hak Penyandang Disabilitas (UNCRPD).

Lebih jauh, Richard membagikan praktik baik dari Program SKALA yang menerapkan kebijakan rekrutmen afirmatif, pengaturan kerja hybrid, serta buddy system dan peer support learning untuk menciptakan lingkungan kerja yang lebih fleksibel, kolaboratif, dan saling mendukung. Richard adalah salah satu staf SKALA dengan disabilitas netra. 

“Inklusi lahir dari kesadaran akan ketidakadilan sosial. Ia tumbuh melalui empati dan keberanian untuk membuka ruang bagi perbedaan,” tambahnya.

Sementara itu, Nurhayati Ratna Saridewi berbagi kisah pribadinya sebagai penyandang disabilitas mental dan aktivis hak-hak disabilitas. Ia mengungkapkan bagaimana stigma di tempat kerja masih menjadi hambatan besar bagi banyak orang dengan kondisi kesehatan mental.

“Stigma itu bukan hanya menyakitkan, tetapi juga menghapus kesempatan seseorang untuk hidup setara di masyarakat,” ujarnya.

Nurhayati menekankan pentingnya perubahan budaya organisasi, dari sekadar memahami menjadi menerima, dari mengakomodasi menjadi memberdayakan. Pengalaman hidupnya menjadi pengingat bahwa dukungan nyata dan lingkungan kerja yang empatik dapat menjadi kunci pemulihan.

Baik Richard maupun Nurhayati sepakat bahwa bekerja bersama rekan dengan disabilitas mental menuntut kesadaran, empati, dan keberanian untuk berubah.

“Ketika kolega kita berada dalam fase depresi, beri ruang untuk tenang. Ketika dalam fase panik, beri ruang untuk menyalurkan kreativitasnya,” saran Richard.

Moderator Gede Surya menutup diskusi dengan refleksi bahwa kesehatan mental adalah fondasi keberlanjutan organisasi. Gede Surya mengajak peserta menerapkan prinsip sederhana yang ia sebut “3L – Look, Listen, and Link”:

  • Look – melihat kondisi sekitar dengan peka,
  • Listen – mendengarkan tanpa menghakimi, dan
  • Link – menghubungkan rekan yang membutuhkan dengan bantuan profesional.

Menutup sesi, Richard menyampaikan pesan yang menggugah, “Inklusi adalah perjalanan, bukan pencapaian tunggal. Ia berarti terus menantang ketidakadilan, membongkar stigma, dan berani menuntut idealitas. Ia tak pernah sempurna, tetapi selalu layak diperjuangkan.”

Seminar ini menjadi pengingat bahwa inklusi bukan hanya tanggung jawab berbagai kebijakan/regulasi semata, tetapi juga ekspresi nilai kemanusiaan, bahwa dunia kerja adalah ruang sehat untuk bertumbuh, saling mendukung dan peduli.

Sinergi dan Kolaborasi untuk Akselerasi Layanan Dasar (SKALA) adalah Program Kemitraan Australia-Indonesia untuk mendukung Pemerintah Indonesia dalam upaya mengurangi kemiskinan dan ketimpangan dengan meningkatkan penyediaan layanan dasar bagi masyarakat miskin dan rentan di daerah tertinggal.

HUBUNGI KAMI

Sinergi dan Kolaborasi untuk Akselerasi Layanan Dasar (SKALA) adalah Program Kemitraan Australia-Indonesia untuk mendukung Pemerintah Indonesia dalam upaya mengurangi kemiskinan dan ketimpangan dengan meningkatkan penyediaan layanan dasar bagi masyarakat miskin dan rentan di daerah tertinggal.

HUBUNGI KAMI

SKALA dikelola oleh 

SKALA @ Copyright 2023