Upaya Meningkatkan Pembangunan Berkeadilan Gender Melalui Dana Transfer ke Daerah: Hasil Lokakarya HKPD Responsif Gender

Dana Transfer ke Daerah (TKD) seperti Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik dan Non-Fisik, dan Dana Desa merupakan instrumen strategis untuk mendorong pembangunan responsif gender dan inklusif, khususnya menyasar kelompok rentan seperti perempuan, penyandang disabilitas, dan lansia.
Hal ini menjadi pembahasan utama dalam “Lokakarya Diseminasi dan Pemanfaatan Hasil Monitoring Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (HKPD) Responsif Gender” yang digelar pada 3–5 Juni 2025 di Hotel Mercure Bumi Serpong Damai (BSD), Tangerang. Kegiatan ini dibuka oleh Sekretaris Direktorat Jenderal (Sesditjen) Perimbangan Keuangan (DJPK), Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Ludiro, dan perwakilan pimpinan SKALA, Lisa Noor Humaidah, GEDSI Lead SKALA.
Lokakarya yang melibatkan perwakilan Kemenkeu, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Kementerian Pembangunan dan Perencanaan Nasional (PPN)/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), pemerintah daerah dari delapan lokasi kerja SKALA, dan Program SKALA ini, membahas hasil monitoring, pembelajaran dan tantangan implementasi dana TKD yang responsif gender.
Hasil monitoring di delapan provinsi wilayah kerja SKALA menunjukkan bahwa Kalimantan Utara (Kaltara) dan Aceh menempati posisi teratas dalam implementasi TKD responsif gender. Kaltara meraih skor tertinggi, 4,16, berkat komitmen kepala daerah dan pelibatan aktif kelompok rentan dalam perencanaan pembangunan.
Laporan monitoring juga mengidentifikasi sejumlah tantangan utama termasuk lemahnya keterkaitan antara belanja responsif gender dan capaian layanan dasar, kesulitan dalam melakukan analisis gender pada sektor-sektor pembangunan, serta belum digunakannya data terpilah berdasarkan jenis kelamin dan disabilitas dalam pengelolaan TKD. Di banyak daerah, pendekatan Pengarusutamaan Gender (PUG) masih dianggap sebatas kewajiban administratif, bukan sebagai kerangka kebijakan substantif.
Menanggapi temuan ini, Sesditjen Ludiro menyampaikan bahwa meskipun proses perencanaan dan penganggaran telah dilengkapi dengan mekanisme tagging, pelaksanaan di lapangan masih menghadapi tantangan. Ludiro menekankan pentingnya monitoring berkala untuk mengukur capaian output, outcome, serta dampak dari alokasi dana yang telah disediakan.
“Kita sudah memiliki temuan hasil monitoring. Untuk menindaklanjuti rekomendasinya, harus ada kolaborasi di antara pihak-pihak yang punya peran dan kontribusi terhadap penyelesaian tantangan-tantangan yang ada,” tegas Ludiro.
Ia mengajak semua pihak agar memaksimalkan peran masing-masing untuk meningkatkan keberpihakan kepada perempuan, disabilitas, dan kelompok masyarakat rentan lainnya.
“Temuan monitoring menjadi acuan tentang kondisi sekarang yang belum ideal sehingga kita perlu memiliki rencana aksi untuk menutup gap antara kondisi sekarang dan kondisi ideal yang ingin kita capai,” ujar Ludiro lebih lanjut.
Direktur Penanggulangan Kemiskinan dan Kesejahteraan Sosial (PKKS), Kementerian PPN/Bappenas, Tirta Sutedjo, yang menyampaikan “Kebijakan Pembangunan Inklusi Sosial di Pusat dan Daerah,” mengingatkan tentang tujuan yang ingin dicapai bangsa ini yaitu terwujudnya Indonesia Emas 2045 dengan prinsip No one left behind. Untuk itu prinsip inklusi sosial ditekankan pada dokumen perencanaan nasional termasuk untuk kebijakan pemenuhan hak dan perlindungan penyandang disabilitas.
“Itu sebabnya, pembangunan inklusif perlu menjadi fokus bersama dalam kelembagaan, penganggaran dan pelibatan kelompok rentan dan marjinal,” tegas Tirta.
Narasumber lain, Harry Irawan dari Ditjen Bina Pembangunan Daerah (Bangda), Kemendagri, menyampaikan materi “Integrasi Kebijakan Gender dan Inklusi Sosial di Daerah dalam RPJMD Tahun 2025 – 2029 Berbasis SIPD. Ia mengatakan bahwa tagging gender dalam Sistem Informasi Pembangunan Daerah (SIPD) perlu dikaitkan langsung dengan hasil pembangunan. Dengan demikian, PUG harus lebih dari sekadar pelabelan. Harus berdampak nyata pada perubahan.
Sementara itu, pembicara dari Direktorat Keluarga, Pengasuhan, Perempuan dan Anak (KPPA), Kementerian PPN/Bappenas, Muhammad Zul Fauzi Sinapoy, menyambut positif hasil monitoring yang disampaikan dan menyarankan agar hasil monitoring tersebut dapat digunakan untuk melihat keterkaitan yang jelas antara penggunaan dana TKD dan peningkatan Indeks Pembangunan Gender (IPG) serta penurunan Indeks Ketimpangan Gender (IKG).
Dengan sinergi antara pemerintah pusat dan daerah serta dukungan data yang kuat, diharapkan pengelolaan anggaran negara benar-benar mencerminkan keberpihakan kepada seluruh warga, termasuk kelompok paling rentan.
Lokakarya ini menghasilkan sejumlah rekomendasi, di antaranya: penyempurnaan instrumen monitoring berbasis pendekatan Pengarusutamaan Gender dan Inklusi Sosial (PUGIS), integrasi hasil monitoring ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) dan sistem perencanaan daerah, serta kolaborasi lintas kementerian untuk memperkuat interoperabilitas data.
Program SKALA, sebagai mitra pembangunan, terus memberikan dukungan teknis dan fasilitasi dialog antar pemangku kepentingan. Dukungan ini diharapkan dapat mempercepat terbentuknya tata kelola fiskal yang responsif dan inklusif terhadap keberagaman kebutuhan masyarakat.
Silakan baca Knowledge Brief Mewujudkan Kapasitas Fiskal yang Responsif Gender. Pembelajaran dari Monitoring Implementasi Transfer ke Daerah di 8 Provinsi Dampingan SKALA untuk membaca ringkasan temuan, pembelajaran dan rekomendasi hasil monitoring.
